Hubungan AS-Israel: Ketika Biden dan Trump Berbeda dalam bidang urusan luar negeri, hanya sedikit hubungan yang mendapat banyak perhatian—dan kontroversi—seperti aliansi AS-Israel. Telah lama dianggap sebagai salah satu kemitraan yang paling bertahan lama dalam geopolitik modern, ikatan antara kedua negara ini telah menyaksikan momen-momen solidaritas yang sengit dan perdebatan yang penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump, kemitraan tersebut menempuh jalur yang sangat berbeda.
Mulai dari relokasi kedutaan hingga penjualan senjata, perjanjian damai hingga pengambilan kebijakan, perbedaan-perbedaan dalam pendekatan ini bersifat substansial dan simbolis. Eksplorasi mendalam ini membedah Sikap Biden vs Trump Israelmengungkap bagaimana ideologi, diplomasi, dan perhitungan politik telah membentuk salah satu hubungan internasional Amerika yang paling banyak diteliti.
Warisan Bersama, Jalan Berbeda
Aliansi antara Amerika Serikat dan Israel dimulai pada tahun 1948, ketika Presiden Harry Truman dengan cepat mengakui Negara Israel yang baru dideklarasikan. Sejak itu, kemitraan ini berkembang menjadi hubungan strategis, militer, dan budaya yang melampaui garis partai politik di Washington.
Namun, bagaimana hubungan tersebut diungkapkan—dan diprioritaskan—sangat bergantung pada siapa yang menduduki Gedung Putih. Itu Sikap Biden vs Trump Israel mengungkapkan dua filosofi yang sangat kontras mengenai bagaimana seharusnya dukungan terhadap Israel dalam praktiknya.
Pendekatan Trump: Menegaskan dan Sangat Pro-Israel
Kepresidenan Donald Trump menandai periode dukungan yang antusias—dan sering kali menimbulkan polarisasi—untuk Israel. Dipandu oleh menantu laki-lakinya Jared Kushner dan basis Kristen evangelis yang sangat setia, Trump mengambil langkah-langkah yang dihindari atau dilakukan oleh presiden sebelumnya dengan lebih hati-hati.
1. Kedutaan Besar Pindah ke Yerusalem
Mungkin momen paling ikonik dalam kebijakan Trump terhadap Israel terjadi pada bulan Desember 2017, ketika ia mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan Amerika ke sana dari Tel Aviv.
Langkah ini, meskipun memenuhi janji kampanye yang sudah lama ada, namun menimbulkan kejutan geopolitik di Timur Tengah. Dirayakan di Israel dan di kalangan pendukung Trump, keputusan tersebut dikutuk oleh banyak sekutu dan badan internasional, yang melihatnya sebagai lonceng kematian bagi solusi dua negara.
2. Perjanjian Abraham
Di bawah kepemimpinan Trump, AS menjadi perantara Abraham Accords—perjanjian normalisasi bersejarah antara Israel dan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Perjanjian-perjanjian ini menandai kemenangan diplomatik dan dianggap sebagai sebuah titik balik dari proses perdamaian Israel-Palestina yang telah lama terhenti. Meski dipuji karena mendorong kerja sama regional, para kritikus berpendapat bahwa perjanjian tersebut mengabaikan isu-isu inti kedaulatan dan hak-hak Palestina.
3. Trump tentang Iran dan Keamanan
Sikap keras Trump terhadap Iran sangat menarik perhatian Israel. Dia menarik AS keluar dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) pada tahun 2018, menerapkan kembali sanksi keras dan menerapkan kampanye “tekanan maksimum”.
Israel, yang memandang Iran sebagai ancaman utama, memuji langkah ini. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutnya sebagai “keputusan berani” yang memperbaiki kesepakatan yang membawa bencana. Sikap Trump jelas-jelas pro-Israel baik dalam retorika maupun keberpihakan militernya.
Pendekatan Biden: Dukungan Terkalibrasi, Diplomasi Strategis
Berbeda dengan pernyataan Trump yang bombastis, Presiden Biden mengambil sikap yang lebih terukur terhadap Israel—masih mendukung, namun tetap kental dengan nuansa dan diplomasi tradisional.
1. Memulihkan Keseimbangan Masalah Palestina
Biden mengembalikan bantuan ratusan juta dolar kepada warga Palestina yang telah dipotong di bawah pemerintahan Trump dan membuka kembali saluran diplomatik dengan para pemimpin Palestina. Pemerintahannya mendukung solusi dua negara dan menyuarakan keprihatinan atas perluasan permukiman Israel, penggusuran di Yerusalem Timur, dan perlakuan terhadap warga Palestina di Gaza.
Meskipun Biden belum membatalkan pemindahan kedutaan ke Yerusalem, ia telah berulang kali menekankan perlunya penyelesaian yang adil terhadap konflik Israel-Palestina—sebuah perubahan besar dari keberpihakan sepihak pendahulunya terhadap kepentingan Israel.
2. Berhubungan kembali dengan Iran
Itu Sikap Biden vs Trump Israel mungkin paling jelas diilustrasikan oleh posisi mereka terhadap Iran. Pemerintahan Biden telah berupaya untuk menghidupkan kembali JCPOA, percaya bahwa diplomasi menawarkan jalan terbaik untuk mencegah Iran yang memiliki senjata nuklir.
Israel masih sangat skeptis terhadap pendekatan ini. Para pemimpin Israel telah menyatakan frustrasi atas upaya Washington untuk kembali memasuki perjanjian tersebut, dan melihatnya sebagai kembalinya kerangka kerja yang cacat yang dapat membuat Teheran semakin berani.
Namun, Biden bersikeras bahwa masuknya kembali negara tersebut akan bergantung pada kepatuhan Iran dan telah mempertahankan kerja sama militer yang kuat dengan Israel untuk meredakan kekhawatiran.
3. Manajemen Krisis dan Respon Konflik
Selama konflik tahun 2021 antara Israel dan Hamas, Biden berada dalam situasi yang sulit. Dia menegaskan kembali hak Israel untuk membela diri sambil mendesak deeskalasi dan menyuarakan keprihatinan atas jatuhnya korban sipil. Pemerintah diam-diam menekan Netanyahu untuk menghentikan operasi tersebut, sambil secara terbuka mempertahankan dukungannya.
Diplomasi di balik layar ini kontras dengan kecenderungan Trump untuk mengeluarkan pernyataan dukungan yang berani, apa pun situasi di lapangan. Nada bicara Biden bersifat pragmatis, ditujukan pada stabilitas dibandingkan tontonan.
Evangelis, Progresif, dan Perpecahan Politik AS
Opini publik di AS terhadap Israel sedang mengalami transformasi. Konsensus bipartisan tradisional mulai retak, dengan perpecahan generasi, ideologi, dan etnis yang semakin jelas.
Umat Kristen Evangelis—yang menjadi landasan pendukung Trump—tetap pro-Israel dan sering menafsirkan dukungan terhadap Israel melalui kacamata agama. Antusiasme mereka memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan Trump di Timur Tengah, termasuk pemindahan kedutaan dan Perjanjian Abraham.
Sebaliknya, Partai Demokrat progresif semakin kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel, terutama terkait pendudukan wilayah Palestina. Anggota parlemen seperti Alexandria Ocasio-Cortez dan Rashida Tlaib menyerukan akuntabilitas yang lebih besar dan bahkan bantuan bersyarat.
Itu Sikap Biden vs Trump Israel mencerminkan ketegangan ini. Meskipun Biden harus menyeimbangkan tuntutan progresif dengan aliansi strategis, Trump sangat bergantung pada kebijakan pro-Israel yang sejalan dengan basis agama dan nasionalisnya.
Kerja Sama Militer dan Intelijen
Terlepas dari pemerintahannya, hubungan militer dan intelijen AS-Israel tetap kuat. Bantuan pertahanan tahunan ke Israel terus berlanjut di bawah pemerintahan Biden, termasuk pendanaan untuk sistem pertahanan rudal Iron Dome.
Namun, Biden telah mengisyaratkan keterbukaan terhadap bantuan pengkondisian—sebuah hal yang tabu di bawah pemerintahan Trump. Perubahan halus dalam nada ini menunjukkan kesediaan untuk memanfaatkan dukungan Amerika sebagai alat akuntabilitas.
Sementara itu, pertukaran informasi intelijen mengenai ancaman regional, terutama mengenai Iran, Hizbullah, dan Suriah, tetap menjadi pilar hubungan ini. Perbedaan yang ada bukan terletak pada kerja sama itu sendiri, namun lebih pada bagaimana kerja sama tersebut selaras dengan tujuan diplomatik yang lebih luas.
Hak Asasi Manusia dan Persepsi Global
Di bawah kepemimpinan Biden, hak asasi manusia kembali menjadi prioritas utama dalam narasi kebijakan luar negeri AS. Pemerintahan Trump telah menentang kekerasan yang menyasar warga sipil, baik di Israel maupun wilayah Palestina, dan mendukung penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM.
Hal ini berbeda dengan masa jabatan Trump, yang sering memprioritaskan aliansi strategis dibandingkan masalah hak asasi manusia. Tim Trump sebagian besar mengabaikan kritik internasional terhadap kebijakan Israel dan malah berfokus pada penguatan hubungan bilateral dan mengesampingkan diplomasi multilateral.
Itu Sikap Biden vs Trump Israel Hal ini mengungkapkan adanya keretakan filosofis: yang mempertemukan diplomasi berbasis nilai dengan realisme berbasis transaksi.
Faktor Netanyahu
Elemen penting lainnya dalam persamaan ini adalah kepribadian dan politik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dia menikmati hubungan yang sangat dekat dengan Trump, sering kali memberikan pujian dan sangat mendukung isu-isu geopolitik.
Dengan Biden, hubungan menjadi lebih formal dan terkadang tegang. Kedua pemimpin telah saling kenal selama beberapa dekade, namun perbedaan ideologi mereka—khususnya mengenai Iran dan perluasan pemukiman—telah menyebabkan perselisihan.
Reformasi peradilan yang dilakukan Netanyahu baru-baru ini, yang telah memicu protes luas di Israel, telah menuai kritik dari pemerintahan Biden, yang mencerminkan sifat halus dari aliansi tersebut.
Upaya Normalisasi dan Masa Depan Perdamaian
Biden terus mendukung proses normalisasi yang diprakarsai Trump melalui Abraham Accords, sembari berupaya mengintegrasikan kembali permasalahan Palestina ke dalam perbincangan yang lebih luas.
Upaya untuk membawa Arab Saudi ke dalam normalisasi sedang dilakukan, namun dengan diplomasi yang hati-hati dan tidak terlalu meriah dibandingkan pendekatan Trump. Strategi Biden bertujuan untuk keberlanjutan dan inklusivitas, bukan kesepakatan yang menarik perhatian.
Itu Sikap Biden vs Trump Israel Inilah studi yang kontras: Trump memilih tindakan yang cepat dan berani untuk menyelaraskan kembali kawasan; Biden mendukung diplomasi bertahap dan berbasis konsensus.
Implikasi Politik Dalam Negeri
Israel tetap menjadi topik penting dalam politik Amerika, mempengaruhi segala hal mulai dari kontribusi kampanye hingga debat Kongres. Kelompok pelobi pro-Israel seperti AIPAC memiliki kekuatan yang signifikan, sementara organisasi progresif seperti J Street dan IfNotNow mendorong perubahan peran AS.
Pemilu 2024 sekali lagi dapat mendorong hal tersebut Sikap Biden vs Trump Israel menjadi sorotan. Trump kemungkinan besar akan memuji rekam jejak dukungannya yang tak tergoyahkan dan kesepakatan-kesepakatan penting, sementara Biden akan menekankan keseimbangan, diplomasi, dan keterlibatan berbasis nilai.
Perbedaan ini bukan hanya sekedar kebijakan—melainkan identitas politik. Pendekatan masing-masing pemimpin terhadap Israel mencerminkan pandangan mereka yang lebih luas: nasionalisme transaksional Trump versus idealisme demokrasi Biden.
Aliansi AS-Israel tidak perlu dipertanyakan lagi—daya tahannya tidak tertandingi dalam sejarah diplomasi modern. Namun cara aliansi tersebut didefinisikan, dipelihara, dan diproyeksikan ke panggung dunia sangat bervariasi tergantung pada siapa yang memimpin Amerika.
Itu Sikap Biden vs Trump Israel menawarkan sebuah jendela yang mengungkap nilai-nilai, prioritas, dan gaya diplomasi dari dua pemimpin yang sangat berbeda. Era Trump adalah salah satu tindakan berani dan disruptif yang mendefinisikan ulang keberpihakan regional. Masa jabatan Biden ditandai dengan kalibrasi ulang, penekanan pada keseimbangan, dan kembalinya diplomasi tradisional.
Ketika dinamika global berubah dan ketegangan regional meningkat, arah hubungan AS-Israel akan terus menjadi barometer peran Amerika di Timur Tengah. Apakah para pemilih pada tahun 2024 akan mendukung dukungan Trump yang tidak tahu malu atau kepemimpinan Biden yang terukur, masih harus dilihat. Namun satu hal yang pasti: masa depan kemitraan ini akan berdampak jauh setelah pemungutan suara pada bulan November.